TEMPO.CO, Jakarta - Dengan suara datar dan tenang, Sri Mulyani membacakan data-data ekonomi yang mengkhawatirkan bagi dunia keuangan. Pemerintah, kata dia, sedang mengantisipasi potensi ekonomi dunia yang makin dekat dengan jurang resesi. Sri Mulyani menyoroti kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral negara-negara di dunia memicu resesi global.
Ia menyebutkan sejumlah negara yang agresif mengerek suku bunga untuk menahan gejolak inflasi. Inggris, misalnya, telah menaikkan suku bunga secara drastis sebanyak 150 basis poin. Kemudian Amerika Serikat tercatat kenaikannya lebih ekstrem mencapai 225 basis poin sejak awal 2022.
Dalam empat dekade terakhir, kata Sri Mulyani, setiap kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika mengakibatkan krisis di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin. "Jadi kita harus mewaspadai spill over yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan," ujarnya, Senin, 26 September 2022.
Mantan Managing Director Bank Dunia itu berujar, kenaikan suku bunga juga demi merespons tekanan yang kuat dari inflasi akibat melonjaknya harga komoditas, serta pemberian stimulus selama 2020-2021 untuk menahan dampak dari krisis pandemi Covid-19.
"Risiko ekonomi bergeser dari pandemi sekarang menajadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan inflasi yang tinggi," kata Sri Mulyani.
Bank Dunia pun memperkirakan jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, resesi global akan terjadi pada 2023. Kerena itu, Sri Mulyani memprediksi kondisi ini akan menimbulkan dampak bagi pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, menurut Sri Mulyani, realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga Agustus 2022 telah menjadikan strategi APBN sesuai dengan tantangan yang melingkupi kondisi global. APBN hingga Agustus 2022 tercatat surplus Rp 107,4 miliar.
Capaian itu naik dari realisasi akhir bulan sebelumnya sebesar Rp 106,1 miliar. Kondisi APBN berbalik ketimbang Agusus 2021. Tahun lalu, APBN mencatatkan defisit Rp 383,1 miliar. Dengan begitu, besaran surplus APBN per 31 Agustus terhadap produk domestik bruto adalah sebesar 0,58 persen, lebih baik dari posisi pada akhir Juli 2022 sebesar 0,57 persen.
Sri Mulyani menjelaskan surplus ini disebabkan pendapatan negara yang mencapai Rp 1.764,4 triliun atau naik 49,8 persen ketimbang Agustus 2021 yang sebesar Rp 1.177,8 triliun. Jika dibandingkan dengan target tahun ini dalam Perpres 98 Tahun 2022 yang sebesar Rp2.266,2 triliun, realisasinya sudah sebesar 77,8 persen.
Keseimbangan primer juga mengalami surplus, yakni menjadi Rp 342,1 triliun dari target tahun ini yang diperkirakan malah defisit sebesar Rp 434,4 triliun. Kondisi keseimbangan primer itu turun 301,5 persen dari catatan Agustus 2021 yang defisit sebesar Rp169,8 triliun.
Selanjutnya: Klaim Super Power RI Ala Luhut
"Jadi dengan surplus ini dan issuence utang yang jauh lebih rendah, defisit yang lebih rendah, menjadikan strategi APBN kita sangat sesuai dengan tantangan saat ini," ujar Sri Mulyani.